Waktu SMP dulu saya pernah membaca buku “Habis Gelap
Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-surat Kartini (sekarang buku itu
entah dimana L). Meski dulu saya belum begitu faham benar dengan isi buku itu,
ada beberapa isi surat yang waktu itu agak ‘mengganggu’ pikiran saya ketika
Kartini bersinggungan dengan Islam.
Saya baru-baru ini mendapati beberapa posting yang membahas surat-surat itu serta transformasi spiritual Kartini, saya coba sarikan.
Persinggungan awal Kartini dengan Islam dapat dibaca dari
surat-surat berikut:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa?
Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula
sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai
agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu
suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang
yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak
mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar
membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti
engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata,
tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak
jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati,
bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang
tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca
Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang
tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti
artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja.
Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh
mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]
Untuk ukuran seorang perempuan dan ukuran zaman itu (bahkan
ukuran zaman sekarang sekalipun) pendapat Kartini ini benar-benar sangat kritis
dan sangat berani.
Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada suatu pengajian di
rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya. Pengajian
dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar(atau
dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali
dengan materi yang disampaikan (ini dapat dipahami mengingat selama ini Kartini
hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian,
Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut
ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat).
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya
apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah
hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa.
Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan
Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari
13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah
Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama
setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum
selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa
ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati
ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan
Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini merasakan sendiri
proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada
pemikiran hidayah (how amazing…).
Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. (Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”).
Nampaknya masa-masa ini terjadi transformasi spiritual bagi
Kartini. Pandangan Kartini tentang Barat-pun mulai berubah, setelah sekian lama
sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan
serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya
sendiri.
Ini tercermin dalam salah satu suratnya;
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat
Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan
kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu
terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami
menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan”
(surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)
Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia
Belanda :
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud
berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam
rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk
memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh
melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu
dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]
Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki
citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan
bahasa halus Kartini menyatakan :
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat
agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van
Kol, 21 Juli 1902].
Di surat-surat lain :
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat
Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902)
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba
Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh,
tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.”
(surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan
mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa
sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia
punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)
foto https://www.slideshare.net/NazmahFP/presentasi-kartini
artikel https://mtamim.wordpress.com/2007/09/17/kartini-dan-islam/
0 komentar:
Posting Komentar