dakwatuna.com – Aku berasal dari Persia, tepatnya Ashfahan.
Ayahku adalah seorang yang kaya-raya dan ternama. Aku orang yang paling
dicintainya di dunia ini. Bahkan saking cintanya, aku tidak pernah
diperbolehkan keluar dari rumah. Aku penganut agama Majusi yang sangat
taat. Aku mengabdi kepada api, tidak pernah aku membiarkannya redup
barang sebentar.
Perjalanan hidupku sangat panjang dan berliku
hingga aku bisa seperti ini sekarang. Perjalanan itu bermula pada suatu
pagi. Pagi itu ayahku sibuk hingga tidak bisa menengok kebunnya yang
luas. Aku diminta untuk menengoknya. Kebun itu berada cukup jauh dari
rumah.
Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah gereja. Kudengar
sayup-sayup suara jamaah gereja yang sedang khusyuk berdoa dan memuji
tuhan mereka. Suara pujian dan doa mereka demikian indah. Dalam hati aku
berpikir, agama ini jauh lebih baik daripada agama yang kuanut. Aku pun
segera mampir ke sumber suara itu. Aku masuk untuk melihat barang
sejenak apa yang mereka lakukan. Kekagumanku semakin bertambah ketika
kulihat mereka berdoa. Aku sempat bertanya pada seseorang di sana, “Dari
mana asal agama ini?” Dia menjawab, “Dari negeri Syam.”
Setelah
beberapa saat berada di dalamnya, berat rasanya beranjak dari tempat
itu. Kuhabiskan pagi, siang, hingga sore hari itu di dalam gereja. Aku
pulang tanpa sempat lagi menengok kebun.
Sesampainya di rumah, aku
baru mengetahui bahwa ayahku sepanjang hari berkeliling-keliling
mencariku. Dia bertanya, “Kemana saja engkau, sesore ini baru pulang?”
Aku menjawab, “Aku tadi melewati sebuah gereja. Di dalamnya banyak orang
yang sedang berdoa. Aku pergi melihat mereka, dan aku sangat tertarik
dengan agama mereka. Agama itu lebih baik dari agama kita. Karena
senang, aku baru pulang ketika hari sudah sore.”
Ayahku berkata,
“Anakku, agama yang baru kau lihat tidak sebaik yang kau kira. Agamamu
dan nenek moyangmu jauh lebih baik.” Aku pun bersikeras bahwa agama
mereka lebih baik. Akhirnya ayahku marah. Aku kembali dikurungnya di
rumah.
Selama dikurung, aku selalu merenung tentang agama itu. Aku
sempatkan mengirim pesan kepada orang yang kutemui di gereja itu.
Kukatakan, “Kalau ada rombongan yang datang dari negeri Syam, tolong
beritahu aku.”
Selang beberapa waktu datang, serombongan orang
Syam. Lalu beberapa orang gereja pun datang ke rumahku untuk
memberitahukan hal tersebut. Kukatakan kepada mereka, “Nanti kalau
mereka akan kembali ke negeri mereka, tolong beritahu aku.”
Singkat
cerita, datanglah orang memberitahukan bahwa orang-orang Syam itu akan
segera kembali ke negeri mereka. Aku segera mencari cara agar bisa
keluar dari rumah. Setelah berhasil keluar, aku segera bergabung dengan
rombongan yang akan pergi ke Syam tersebut. Berhari-hari kulalui
perjalanan ke Syam. Sesampainya di sana, kutanyakan kepada mereka,
“Siapakah orang yang paling luas pengetahuannya tentang agama ini?”
Mereka menjawab, “Uskup.”
Segera aku mendatanginya dan berkata
kepadanya, “Aku ingin masuk agama ini. Oleh karena itu, aku akan selalu
bersamamu dan mengabdi di gereja, sehingga aku bisa belajar agama ini.”
Dia menjawab, “Masuklah.” Hanya beberapa waktu bersamanya, aku sudah
mengetahui bahwa dia adalah orang yang jahat. Dia memerintahkan orang
lain untuk membayar sedekah. Sedangkan sedekah-sedekah itu diambil dan
disimpannya untuk diri sendiri. Dia tidak memberikannya kepada
orang-orang miskin. Hingga harta yang terkumpul mencapai tujuh buah
kotak berisi emas dan perak. Aku sangat membencinya karena kejahatan
itu.
Setelah beberapa tahun bersamanya, Uskup itu meninggal dunia.
Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Kukatakan kepada
mereka, “Sebenarnya Uskup ini adalah orang yang jahat. Dia menyuruh
kalian membayar sedekah, sedang sedekah itu dikumpulkannya untuk diri
sendiri.” Mereka tidak percaya dengan perkataanku, “Mana buktinya?” Maka
aku segera tunjukkan tempat disimpannya emas dan perak itu. Mereka
sangat terkejut dan langsung berkata, “Selamanya kami tidak akan
menguburkannya.” Mereka kemudian menyalib jenazah Uskup itu, lalu
melemparinya dengan batu.
Orang-orang
Nasrani kemudian memilih Uskup yang baru. Kulihat Uskup pengganti itu
adalah orang yang baik. Dia orang yang rajin beribadah dan sangat zuhud
kepada harta dunia. Aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku hidup
bersamanya beberapa waktu, sampai saat datang ajal kepadanya. Saat itu
kukatakan, “Selama ini aku hidup bersamamu, mencintaimu lebih dari
cintaku kepada yang lain. Sekarang aku lihat ajalmu sudah dekat.
Katakanlah kepada siapa lagi aku berguru sepeninggalmu?” Beliau
menjawab, “Anakku, demi Allah saat ini sudah sangat jarang orang yang
mengamalkan agama seperti kita. Orang-orang yang benar sudah meninggal;
yang tersisa adalah orang-orang yang sudah rusak dan mengubah agama
mereka. Hanya ada satu orang yang mengamalkan agama seperti kita, yaitu
seorang Nasrani di kota Al-Maushil. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke
sana.”
Aku pun segera pergi ke kota Al-Maushil. Aku menemui orang
yang dimaksud guruku itu. Kukatakan kepadanya, “Saat meninggal, guruku
berwasiat agar aku menemui dan berguru kepadamu.” Dia menjawab,
“Baiklah. Tinggallah bersamaku.” Aku lihat dia seorang yang baik. Persis
dengan guru keduaku. Namun tak lama aku tinggal bersamanya, dia pun
sakit dan meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, aku bertanya
kepadanya, “Wahai guruku, dulu guruku yang kedua berwasiat kepadaku
untuk belajar kepadamu. Sekarang engkau sudah sakit parah. Kalau engkau
meninggal, ke manakah hendaknya aku berguru lagi?” Dia menjawab, “Aku
hanya mengetahui satu orang yang mengamalkan agama seperti kita. Dia
tinggal di kota Nashibin. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana, dan
tinggallah bersamanya.”
Setelah guruku meninggal dunia dan
dikuburkan, aku segera pergi ke Nashibin untuk menemui orang yang
ditunjuk tersebut. Setelah kKukatakan maksud kedatanganku, dia pun
mempersilahkaku tinggal bersamanya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu,
karena dia pun kemudian meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal
dunia, kembali kutanyakan tentang guru berikutnya. Dia menunjuk seorang
Nasrani di kota Amuriah, sebuah propinsi Romawi.
Aku belajar di
Amuriah beberapa saat, karena guru baruku pun meninggal dunia. Di akhir
kehidupannya, dia berpesan, “Sekarang memang sudah sangat sedikit orang
yang baik dalam mengamalkan agamanya. Tapi jangan khawatir, sudah hampir
tiba masa diutusnya seorang nabi baru. Dia akan diutus di negeri Arab.
Karena mendapatkan pertentangan dari kaumnya, dia akan hijrah ke sebuah
negeri yang diapit dua gunung berbatu hitam. Di tengah dua gunung
tersebut adalah lahan perkebunan kurma yang sangat subur. Nabi itu
mempunyai tanda-tanda yang bisa kau gunakan untuk mengenalinya; dia
tidak mau makan harta sedakah, tapi mau makan harta hadiah, dan di
punggungnya ada sebuah tanda kenabian.”
Begitu mendengar kisah
itu, aku merasa sangat rindu bertemu dengan nabi itu. Aku berharap bisa
segera pergi ke negeri Arab. Maka ketika datang rombongan pedagang dari
negeri Arab, aku langsung menemui mereka. Kukatakan kepada mereka,
“Bolehkah aku ikut ke negeri kalian? Imbalannya, aku akan memberi kalian
hewan-hewan ternakku.” Mereka pun menerima. Namun di tengah perjalanan,
mereka berkhianat. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Mulai saat
itu aku menjadi seorang budak. Dia membawaku ke tempat tinggalnya untuk
hidup dan mengabdi kepadanya. Dia tinggal di sebuah tempat yang banyak
ditumbuhi pohon kurma. Dalam hati, aku berharap bahwa tempat itu adalah
tempat yang dimaksud oleh guruku. Bahwa nabi baru itu akan berhijrah ke
sana.
Sehari-hari aku sibuk dengan banyak pekerjaan seorang budak.
Aku tidak banyak mendengar kabar dunia luar. Termasuk kabar yang
tersiar di Mekah tentang seseorang yang mengaku sebagai nabi. Saat yang
kutunggu-tunggu itu rupanya sudah tiba. Saat itu aku sedang bekerja di
atas pohon kurma, sedangkan tuanku berada di bawah. Ketika datang
seseorang mengabarkan bahwa nabi itu telah tiba, aku hampir terjatuh
saking kaget dan bahagianya. Kutanyakan kepada tuanku, “Benarkah nabi
itu telah tiba?” Tuanku marah dan menamparku, “Apa urusanmu dengan
datangnya nabi itu? Ayo, lanjutkan kerjamu.” Aku menjawab, “Tidak ada
apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja.”
Baru sebentar nabi itu
datang, aku sudah ingin segera menemuinya. Saat itu aku sudah memiliki
kurma. Aku ingin memberikan kurma itu kepada nabi baru itu. Aku
menemuinya yang saat itu masih berada di Quba’, belum sampai ke Madinah.
Kukatakan kepadanya, “Aku mendengar bahwa engkau adalah orang yang
baik. Engkau juga mempunyai banyak teman yang sangat membutuhkan
bantuan. Aku ingin mensedekahkan kurma-kurma ini.” Aku meletakkan
kurma-kurma itu di hadapannya, tapi beliau malah berkata kepada para
sahabatnya, “Makanlah kurma-kurma ini.” Sedangkan beliau sendiri tidak
makan sedikitpun. Dalam hati aku berkata, “Salah satu tanda kenabiannya
sudah kubuktikan.”
Selang beberapa hari, nabi itu melanjutkan
perjalanan ke Madinah. Aku mengumpulkan kurma lagi untuk diberikan
kepadanya, “Kemarin aku melihat engkau tidak berkenan memakan sedekah.
Sekarang aku ingin memberimu kurma-kurma ini sebagai hadiah.” Mendengar
hal itu, beliau pun memakannya. Dalam hati aku berkata, “Sudah dua tanda
kenabiannya yang kulihat.”
Suatu hari, ada seorang penduduk
Madinah yang meninggal dunia. Kulihat nabi itu ikut mengantarnya ke
kuburan Baqi’ul Gharqad. Beliau menutupi tubuhnya dengan dua selendang
dari kain yang sangat kasar. Aku menemui dan mengucapkan salam
kepadanya. Setelah itu aku mundur ke arah belakang beliau. Aku bermaksud
menunggu kainnya tersingkap hingga bisa kulihat tanda kenabian yang
tertulis di punggung beliau. Seakan merasakan hal tersebut, beliau
langsung menyingkap kainnya sehingga dengan sangat jelas kulihat tanda
kenabian itu di punggungnya. Aku menangis sejadi-jadinya, dan langsung
memeluk dan mencium beliau. Akhirnya kutemui juga nabi yang selama ini
kutunggu-tunggu dan kucari-cari.
Langsung terbayang dalam benakku
saat aku meninggalkan ayah yang sangat mencintaiku. Saat aku hidup
berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain di negeri-negeri yang
berjauhan. Saat kehilangan harta-hartaku. Saat aku dihinakan menjadi
seorang budak yang diperjual-belikan, yang dipaksa bekerja bagaikan
hewan ternak. Namun rasanya, semua itu hilang begitu saja ketika
kubuktikan bahwa orang yang ada di depanku adalah nabi yang selama ini
aku cari dan tunggu.
Sekarang aku menjadi salah seorang
sahabatnya. Aku sangat mencintainya, seperti perasaan seluruh
pengikutnya. Beliau adalah pemimpin agung yang sangat menyayangi kami.
Karena sayangnya, beliau meminta untuk segera menebus diri agar tidak
lagi menjadi seorang budak. Beliau membantuku mengumpulkan harta untuk
tebusan. Sekarang aku seorang Muslim yang Merdeka. Seorang sahabat
Rasulullah saw. Aku kini dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Di atas
adalah foto kuburan beliau di Irak. (msa/dakwatuna)
Redaktur: M Sofwan
0 komentar:
Posting Komentar