Alt/Text Gambar

07 Januari 2015

07 Januari 2015

Agar Dakwah Tak Terputus

Dakwah ibarat tangga. Jika terputus, tak mungkin tujuan tercapai. Bahkan, jika jenjang terputusnya lama, tak mustahil menyebabkan kejatuhan.
 
Di tengah kesibukan kuliahnya, Tika (bukan nama sebenarnya) sempat memberikan privat membaca al-Qur’an pada sebuah keluarga cukup kaya. Karena kegigihan dakwahnya yang luar biasa, Tika tak hanya berhasil membuat seisi keluarga itu mampu baca tulis al-Qur’an, tapi juga memberikan pencerahan wawasan keislaman yang baik. Ibu dan seorang putrinya dari keluarga itu berhasil dia jilbabkan. 

Tika menganggap tugasnya selesai. Ia ‘tinggalkan’ keluarga tersebut tanpa meninggalkan jalinan hubungan sama sekali. Beberapa tahun kemudian, ia mendapat berita. Gadis kecil yang dulu masih duduk di bangku SD dan berhasil ia jilbabi, kini sudah menapaki bangku kuliah. Yang mengejutkan, gadis itu tak layak lagi menyandang predikat muslimah. Jilbab yang dulu membungkus rapi rambutnya, kini sudah melayang dihembus angin kebebasan. Keteduhan yang dulu menjadi ciri khasnya, kini berubah. 

Si akhwat baru ngeh. Sebuah kesalahan besar telah ia lalaikan. Dakwahnya yang ia jalin betahun-tahun burai. Penyebabnya, kelalaiannya sendiri yang meninggalkan kelaurga itu tanpa ada ikatan hubungan setelahnya. Dakwahnya terputus!

Fenomena seperti dialami seorang akhwat di pengujung 1990-an ini, tak sedikit menjangkiti juru dakwah. Sebagian mereka beranggapan, ketika sang mad’u sudah tertarik dengan dakwahnya, tugasnya selesai. Ia mengira keimanan seseorang itu stabil. Padahal, seperti diisyaratkan Rasulullah saw bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ketika keimanan sedang berkurang, dan bujukan kejahatan datang menerpa, tak sedikit yang tidak mampu bertahan. Bahkan, fenomena melemahnya iman ini, juga dialami para sahabat, generasi terbaik alumnus madrasah Rasulullah saw. 

Kasus “tertinggalnya” tiga sahabat yang tidak ikut perang Tabuk, merupakan salah satu contohnya. Begitupun peristiwa Hathib bin Abi Balthaah yang “membocorkan” rahasia rencana kedatangan Rasulullah saw ke Makkah. Namun, kadar melemahnya iman para sahabat, tentu tak bisa disamakan dengan tingkat keimanan kaum muslimin saat ini. Ketika mengetahui kekeliruannya, Kaab bin Malik dan kedua temannya yang tidak ikut perang Tabuk, langsung mendapat “hukuman” tidak diajak bicara selama lima puluh hari. Mereka pun langsung bertaubat. Begitu pun Hathib bin Abi Balthaah. Begitu menyadari kekeliruannya, dengan penuh penyesalan ia langsung bertaubat dan berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. 

Karenanya, kalau kita buka lembaran sejarah, dakwah yang disampaikan Rasulullah saw selalu berkesinambungan. Beliau tak pernah membiarkan para sahabatnya “terlantar” tak mengenyam nikmatnya dakwah. Ketika ada yang baru masuk Islam, Rasulullah saw langsung menyuruh para sahabatnya untuk mengajarkan Islam. 

Ada beberapa hal yang menyebabkan terputusnya dakwah. Di antaranya, futur (lemahnya iman). Seperti kaum muslimin lainnya, dai pun tak luput dari fenomena lemah iman. Dai yang tadinya selalu mengisi hari-harinya dengan aktivitas dakwah, tiba-tiba melemah. Kediamannya yang biasanya diramaikan oleh kajian-kajian dakwah tiba-tiba sepi. Yang terdengat justru alunan musik dan acara-acara televisi yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kesibukan kerja dan rutinitas harian, turut melalaikan dakwahnya. Semua gejala melemahnya iman ini merupakan faktor utama terputusnya dakwah. Tak jarang, karena faktor tersebut, umat yang semula mulai tersentuh dakwah, kembali ke era jahiliyahnya. Jilbab yang semula mulai menutup auratnya kembali melayang akibat kurangnya pemantauan dan mutabaah. 

Selain itu, kesalahan dalam memahami makna uzlah, juga menjadi faktor terputusnya dakwah. Melihat hancurnya masyarakat dan rusaknya mora mereka, tak sedikit di antara dai yang justru pata semangat. Karena merasa tak sanggup memperbaikan keadaan, mereka memilihi mengasingkan diri dan menjauhi hiruk pikuk “dunia”. Memang ada hadits yang menegaskan tentang anujuran uzlah. Di antaranya seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, “Akan datang suatu saat, sebaik-baik harta seseorang adalah kambing yang dibawa ke puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan. Ia menghindar dari fitnah dan membawa agamanya,” (HR Muslim). 

Namun, anjuran untuk mengasingkan diri ini tidak boleh ditelan mentah-mentah. Sebab, sangat banyak ayat al-Qur’an yang justru memerintahkan untuk melebur dan bergabung membentuk kelompok bersama kaum muslimin. Allah SW berfirman, “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai,” (QS Ali Imran: 103). 

Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah, seolah-olah mereka itu adalah sebuah bangunan yang kokoh,” (QS ash-Shaf: 4). Lebih tegas lagi Rasulullah saw menyatakan, “Jauhilah bercerai-berai, hendaklah kalian berjamaah. Sesungguhnya setan akan menyertai orang yang sendirian dan akan menjauh dari dua orang. Siapa yang ingin masuk ke taman surga, hendaklah ia berjamaah,” (HR Turmudzi). 

Jadi, hakikat uzlah harus dipahami secara benar. Sehingga, tidak kontraproduktif dan menjadi penyebab terputusnya dakwah. Kita dapat bayangkan, jika para dai menganggap uzlah adalah solusi mengatasi masalah, tak ada lagi yang akan berdakwah. Masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri.
Selanjutnya, larut dalam pencarian harta dan perburuan jabatan bisa juga menyebabkan terputusnya dakwah. Harta dan jabatan adalah dua sejoli yang selalu menjadi perburuan. Bagi juru dakwah yang sudah terjebak pada perburuan ini, sering tak bisa membagi waktu. Hari-harinya dipenuhi dengan kesibukan duniawi sedangkan dakwahnya terabaikan. Cinta dunia merupakan salah satu penyebab timbulnya perlombaan mencari harta. Jika cinta dunia sudah bersarang di hati manusia, akan mendorongnya untuk merengkuh harta dan jabatan sebanyak-banyaknya tanpa merasa kenyang. Rasulullah saw bersabda, “Jika manusia memiliki dua lembah harta kekayaan, dia akan menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidak akan pernah merasa penuh kecuali dengan tanah. Allah akan menerima taubat orang yang ingin bertaubat,” (HR Bukhari dan Muslim). 

Kesibukan memburu harta dan singgasana menyebabkan tersitanya waktu mengkaji agama. Pentingnya mengikuti kajian keagamaan bukan semata untuk menambah ilmu, tapi untuk saling mengingatkan. 

Selain itu, rendah diri dan merasa tidak mampu bisa juga menjadi sebab terputusnya dakwah. Tidak sedikit para dai yang meninggalkan panggung dakwah lantaran merasa dirinya rendah dan tak mampu berbuat apa-apa. Ia khawatir ketika mengikuti kajian-kajian keagamaan, dirinya akan dihina dan tidak dihormati. Akibatnya, ia juga takut mengatakan yang hak itu benar dan yang batil itu salah. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kamu menghinakan dirinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw, apa yang dimaksud dengan seseorang menghinakan dirinya?” Beliau bersabda, “Dia melihat suatu urusan Allah yang wajib dikatakan, tapi tidak ia sampaikan. Pada hari kiamat, Allah akan bertanya pada orang itu, ‘Apa yang menghalangimu untuk mengatakan itu?’ Dia menjawab, ‘Karena takut kepada manusia.’ Allah berfirman, ‘Akulah yang paling berhak kamu takuti,’” (HR Ibnu Majah). 

Namun demikian, bukan berarti dakwah bisa dilaksanakan begitu juga. Dakwah tak hanya butuh semangat. Semangat saja tidak cukup. Kalau semangat diibaratkan bahan bakar, maka ilmu adalah kendalinya. Dengan ilmulah segalanya diarahkan. Dakwah tanpa ilmu ibarat kendaraan tanpa setir. Dakwah tanpa semangat ibarat mobil tanpa bensin. Semangat dan ilmu adalah dua hal yang mesti dimiliki seorang ilmu. 

Jika tidak hati-hati, semangat tanpa ilmu bisa berdampak negatif. Fenomena yang akhir-akhir ini menyudutkan umat Islam, tak lepas dari kesalahan mengelola semangat. Tak sedikit di antara aktivis Islam yang mempunyai semangat luar biasa, dimanfaatkan musuh untuk mencemarkan nama baik umat Islam sendiri. Strategi “tiup balon” yang dulu dimainkan oleh Ali Mortopo, kini dipraktikkan lagi. 

Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab terputusnya dakwah itu, para dai akan memiliki kesadaran. Bahwa, dakwah tak mengenal istilah “istirahat” apalagi “henti”. Ia harus terus berjalan, berputar dan bergerak seiring hembusan napas. Ia tak boleh berhenti sedetik pun sampai maut menjemput ajal. (pkskelapadua)
Hepi Andi Bastoni

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates | ReDesign by PKS Kab.Semarang