Alt/Text Gambar

12 Maret 2013

12 Maret 2013

Pendidikan dan Pudarnya Nilai Lokalitas


Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan sedang menghadapi masalah dan tantangan luar biasa yang bisa menghambat pembentukan karakter dan keperibadian anak didik. Tantangan dunia pendidikan bukan saja berasal dari  sistem pembelajaran atau kurikulum yang diterapkan, melainkan juga menyangkut krisis budaya yang sesuai dengan identitas kebangsaan kita.

Brameld Theodore (1955), dalam Philoshopies of Education in Cultural Perspective, mengatakan bahwa krisis budaya barangkali tidak langsung berkaitan dengan potret buram pendidikan Indonesia, akan tetapi sangat berpengaruh besar terhadap cara berperilaku dan bertindak yang bertentangan dengan adat-istiadat maupun kebudayaan masyarakat setempat.

Kendati krisis nilai-nilai budaya menjadi problem serius bagi setiap lembaga pendidikan, namun setidaknya refleksi kritis atas terjadinya pergeseran paradigma (sifting paradigm) harus tetap menjadi perhatian pihak terkait yang berkepentingan terhadap masa depan generasi muda. 

Secara umum persoalan berat yang dihadapi bangsa saat ini sebagai akibat era globalisasi adalah terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan yang ditandai dengan semakin berkembangnya pengaruh budaya pengagungan material secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan penyimpangan jauh dari budaya luhur turun temurun serta merta telah memunculkan berbagai bentuk kriminalitas, sadisme, dan krisis moral secara meluas.

Pengaruh globalisasi bagi lunturnya nilai-nilai budaya bangsa merupakan bagian dari tantangan besar pendidikan untuk mematangkan pengetahuan tentang kearifan lokal yang tercipta dalam budaya bangsa. Fred Wibowo (2007) memahami bahwa dunia pendidikan mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memberikan keseimbangan dan keharmonisan hidup dan dalam konteks pengembangan pendidikan yang lebih berkebudayaan. Karena di institusi semacam ini berkumpul para tokoh kebudayaan yang memiliki perhatian pada pengembangan keseimbangan olah pikir dan rasa.

Dalam dunia pendidikan, nilai-nilai kebudayaan tidak boleh luntur sedikitpun karena akan berpengaruh pada sikap dan perilaku yang tidak berkeadaban. Pentingnya penanaman nilai-nilai kebudayaan bukan saja dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pola pikir masyarakat secara keseluruhan, melainkan sebagai upaya untuk menghidupkan karakter budaya bangsa yang mulai retak akibat perilaku dan tindakan kita yang tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas kehidupan.

Krisis nilai-nilai budaya menjadi problem akut dalam dunia pendidikan kita yang semakin jauh dengan keteladanan dan mencerminkan keadaban sebagai bangsa yang luhur. Kondisi ini membuat orientasi dan kebijakan dalam dunia pendidikan harus berbenah diri guna meluruskan cara pandang tentang pentinya etika kebudayaan yang bermartabat dan bermoral. Pendidikan yang mengabaikan orientasi dan kebijakan yang bermartabat bisa saja menciptakan ketergantungan, kemalasan, sikap acuh tak acuh, dan tindakan yang tidak wajar seperti penyelewengan, pengkhiatanan, maupun tindakan korupsi. 

Ketika anak didik mengalami krisis nilai-nilai budaya, maka yang terjadi adalah penyimpangan terhadap keluhuran dan kearifan yang menjadi atribut kebudayaan. Penyimpangan terhadap kearifan nilai-nilai budaya pada gilirannya bisa mempengaruhi orientasi keilmuan dalam dunia pendidikan sehingga anak Indonesai akan semakin terjebak pada kemewahan yang bersifat pragmatis.

Kearifan budaya bisa saja disalahartikan dan diselewengkan hanya demi kepentingan dan kepuasan untuk memuja nilai rasa panca indera, menonjolkan keindahan sebatas yang dilihat (tonton), didengar, dirasa, disentuh, dicicipi, dengan tumpuan kepada sensual, erotik, seronok, mengutamakan kesenangan badani (jasmani).
Akibat nilai-nilai budaya luhur bangsa Indonesai terjebak pada gaya hidup yang hedonistik, kapitalistik, dan konsumeristik, maka orientasinya hanya sebatas hiburan yang terlepas dari aturan agama, adat luhur, moral akhlak, ilmu dan filsafat, dan tercerabut dari budaya dan nilai-nilai normatif lainnya. Budaya semacam ini dipertajam dampaknya dalam kehidupan remaja oleh budaya popular ke kota (urban popular culture) yang hedonistik  dan berkembang lagi gaya hidup global (the globalization of life style).

Lembaga pendidikan seharusnya lebih memperhatikan masalah moral dan etika anak didiknya agar lebih tidak terjebak pada kehidupan modern yang serba instan dan cenderung menghalalkan segala cara demi memuluskan hasrat pribadi yang terbenam. Pendidikan juga harus menanamkan keluhuran nilai-nilai budaya berbasis lokalitas dalam kehidupan masyarakat sehingga anak bisa lebih menghargai keberagaman sebagai suatu anugerah yang perlu dipelihara dengan baik. 

Di tengah virus budaya global yang semakin menjangkiti anak muda Indonesia, maka dibutuhkan sebuah penanaman karakter yang kaut sejak dini guna menangkal segala krisis mental yang menjadi problem akut dalam perkembangan anak.Menurut Franz Magnis-Suseno, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, yang dibutuhkan bukan hanya karakter kuat, tetapi juga benar, positif, dan konstruktif. 

Namun, untuk membentuk anak-anak didik yang berkarakter kuat tidak boleh ada feodalisme para pendidik. Jika pendidik membuat anak menjadi ”manutan” dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah, karakter anak tidak akan berkembang. Kalau kita mengharapkan karakter, anak itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. 

Pengabaian terhadap nilai-nilai budaya dan agama atau pengamatan nilai-nilai yang tidak komprehensif dan sistematik, secara tidak langsung akan melahirkan generasi masyarakat hiprokrit sehingga bisa mengidap penyakit sosial kronis dengan kegemaran berkorupsi. Generasi ke depan wajib digiring menjadi taat hukum dimulai dari lembaga keluarga dan rumah tangga dengan memperkokoh peran orangtua, dan unsur masyarakat secara efektif dalam menularkan ilmu pengetahuan yang segar dengan tradisi luhur kepada generasi penerus bertumpu kepada cita rasa patah tumbuh hilang berganti. 

Menanamkan kesadaran tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban asasi individu secara amanah, penyayang dan adil dalam memelihara hubungan harmonis dengan alam, memperkaya warisan budaya dengan setia mengikuti dan mempertahankan, istiqamah pada agama yang dianut, teguh politik, kukuh ekonomi, melazimkan musyawarah dengan disiplin dan bijak memilih prioritas pada yang hak sebagai nilai puncak budaya yang benar.

Jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu.

Mohammad Takdir Ilahi
Mahasiswa Studi Agama dan Resolusi Konflik, Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga dan Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta.

okezone.com

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates | ReDesign by PKS Kab.Semarang