Untuk menjamin nishabul baqa (angka atau quota yang aman bagi
eksistensi gerakan dakwah), qudratu ‘ala tahammul (kemampuan memikul
beban / tanggung jawab), dan hayawiyatul harakah (dinamika gerakan);
perlu dilakukan ri’ayah da’wah, yang meliputi:
Ri’ayah Tarbawiyah
Ini sangat penting sebagai basis dari sebuah program. Sebuah
recovery tarbiyyah. Walaupun kita juga harus tawazzun (seimbang), dalam
arti, sering saya ingatkan bahwa kita ini harakah Islamiyah bukan
harakah tarbawiyyah. Walaupun kita faham bahwa tarbiyah itu bukan segala
sesuatu dalam jamaah ini—karena ia hanya juz’iyyatul ‘alal amal islami,
tapi dia sangat menentukan segala sesuatu. Makanya jangan lalai dalam
tarbiyah ini. Saya pun bertanggung jawab jangan sampai terjadi tawaruth
siyasi (larut dalam dunia politik).
Hasil tarbiyah ini jangan dibatasi manfaatnya menjadi tarbiyah untuk
tarbiyah. Artinya moralitas, idealisme, dan semangat yang dihasilkan
tarbiyah itu jangan hanya dirasakan ketika ia menjadi murabbi saja. Tapi
harus dirasakan juga produk tarbiyah itu baik secara moralitas,
idealisme, akhlak, hayawiyah, semangat ke dalam dunia politik. Aktif
dalam sektor bisnis, eksekutif, budaya, sosial, dan peradaban; perasaan
bahwa mereka juga harus merasakan tarbiyah. Jangan sampai produk-produk
tarbawi hanya semangat ketika mentarbiyah saja. Ketika di dunia politik
dia lesu, di dunia ekonomi memble, di dunia sosial kemasyarakatan
ketinggalan, dalam seni budaya jauh di urutan ke berapa.
Tarbiyah harus bisa memacu, memberikan semangat, memberikan moralitas
tinggi, idealisme tinggi dalam segala bidang. Itu sebetulnya sudah kita
rasakan, dan semakin kita butuhkan ketika kita semakin besar. Jangan
sampai potensi apa pun yang ada tidak mendapat sentuhan tarbawi
tersebut. Jangan terjadi apa yang dinamakan al-izaaban (pelarutan).
Jangan sampai ketika aktif di bidang politik terjadi izaabatu
syakhsiyyatul islamiyyah (pelarutan kepribadian islami), atau aktif di
bidang ekonomi terjadi izaabatul akhlaqul islamiyyah.
Pelarutan-pelarutan itu insya Allah tidak akan terjadi atau bisa
diminimalisir jika tarbiyah kita konsisten.
Ri’ayah Ijtima’iyah
Kemampuan kita melakukan komunikasi sosial, baik dalam jama’ah
sendiri atau juga di masyarakat, tahsinul ‘alaqotul ijtima’iyyah
(perbaikan hubungan kemasyarakatan) ini sangat dibutuhkan dalam peran
kita sebagai da’i.
Ri’ayah Tanzhimiyah
Jaringan struktur kita sebagai jalur komando harus solid. Agar cepat
dan tepat, bisa menyalurkan program-program dari pusat sampai ke
daerah-daerah.
Ri’ayah Iqtishadiyah
Ekonomi ini menjadi perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
(sesaat setelah hijrah-red) setelah membangun masjid. Masjid untuk
membangun anfus (jiwa) dan pasar untuk membangun potensi amwal (harta),
keduanya untuk wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum.
Ekonomi kita masih berbasiskan ekonomi jaringan, belum berbasiskan
ekonomi pasar. Yang dagang ikhwan dan akhwat, yang belanja juga ikhwan
dan akhwat. Memang ekonomi jaringan itu nikmat, tapi sulit untuk menjadi
besar, artinya ketemu pedagang sambil kangen-kangenan, tawar menawarnya
juga enak. Dalam ekonomi kalau mau menjadi besar itu harus berbasiskan
pasar.
Dalam ri’ayah iqtishadiyah, pelihara terus ekonomi jaringan, tetapi
kembangkan menuju ekonomi pasar. Ekonomi jaringan itu menjadi basis
ekonomi pasar. Jangan keasyikan berputar-putar di ekonomi jaringan, gak
bisa besar. Sebab pasar kita terbatas. Coba hitung berapa persen kader
kita yang menjadi pedagang, kemudian berapa komunitas kita yang jadi
pasarnya. Apalagi kalau dibagi dengan jumlah pedagang yang berdagang
dari halaqoh ke halaqoh, sehingga pembagian jumlah konsumen itu kecil.
Kita berada di negara yang pasarnya dipenuhi oleh negara-negara
besar; Amerika, Eropa, Cina, dan Jepang berebut pasar Indonesia. Kenapa
kita sebagai pemilik pasar tidak mendayagunakannya sebesar-besar manfaat
dari pasar Indonesia ini. Pasar Indonesia ini pasar yang jika dilihat
dari luas geografisnya—bahkan secara demografisnya lebih luas lagi—sama
dengan London – Moskow.
Ri’ayah Siyasiyah
Komunikasi politik kita harus lebih baik antar partai-partai. Jangan
ada hambatan-hambatan yang membuat komunikasi kita dengan mereka
terputus. Terutama karena kita partai dakwah. Jangan ada komunikasi yang
putus dengan siapa pun. PDIP mad’u (objek dakwah) kita, Golkar mad’u
kita, bahkan PDS juga mad’u kita. Sebisa mungkin ada jalur komunikasi.
Jika tidak ada komunikasi keumatan atau keislaman, maka bangun jalur
kemanusiaan. Saya kira tidak ada partai yang anggotanya bukan manusia.
Banteng simbolnya, tapi anggotanya tetap manusia.
Minimal hubungan kemanusiaan harus terbentuk dengan kelompok manapun.
Ingat, seperti dulu saya tegaskan bahwa mihwar muassasi itu merupakan
muqaddimah menuju mihwar dauli. Kalau kita sudah mencapai mihwar dauli,
rakyat yang kita kelola itu dari beragam parpol, kelompok, dan agama;
semuanya rakyat yang harus kita kelola. Harus kita layani. Jangan
dibayangkan kalau sebuah partai dakwah berkuasa di sebuah negara, akan
membumihanguskan golongan-golongan lain. Tidak! Karena khilafah fil
ardhi, termasuk embrionya, mihwar daulah, itu juga mengemban misi
rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil mu’minin saja. Semua komponen
bangsa harus menikmati kehadiran kita dalam sebuah daulah, minimal
secara manusia. Terjamin hak-hak kemanusiaannya, termasuk hak-hak
politiknya tidak akan diberangus. Kita akan memberikan space kepada
siapa pun komponen bangsa ini—sudah tentu yang tidak bertentangan dengan
konstitusi negara yang disepakati—agar mempunyai ruang hidup, baik
secara politik, ekonomi, budaya, dan relijius.
Itu latihannya dari sekarang. Membangun komunikasi politik, budaya,
bisnis, dan sosial dengan semua golongan, semua lapisan masyarakat,
semua kelompok, semua komponen bangsa dari sekarang. Sehingga kita
diakui, laik memimpin negara ini. Allahu Akbar! Insya Allah tidak lama
lagi.
0 komentar:
Posting Komentar