Oleh: Mohamad Sohibul Iman, Ph.D
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(Disampaikan pada acara Ngaji Budaya yang diselenggarakan
oleh Bidang Seni-Budaya DPP PKS, 11 Agustus 2017 bertempat di Kantor Pusat DPP
PKS)
Assalamualaikum Wr Wb,
Ngaji budaya kali ini mengambil tema, Rumah Indonesia,
Siapa yang Menjaga?Saya kira ini pertanyaan retoris saja. Karena kita
semua sudah pasti tahu jawabannya. Yang menjaga rumah Indonesia ya kita semua.
Karena kita orang Indonesia yang kitalah yang menjaga rumah kita.
Namun demikian, menjaga rumah Indonesia tidak semudah kita
mengucapkannya. Akhir-akhir ini kita merasakan bahwa nilai-nilai Keindonesiaan
kita telah terkoyak oleh sebuah situasi dengan adanya tarikan-tarikan dimana
ada sekelompok orang yang menginginkan situasi zero sum game. Dimana
ketika seseorang dalam kondisi menang inginnya menihilkan yang lain. Dari kedua
belah pihak sama-sama ingin menjatuhkan.
Padahal kalau kita lihat kembali dari sisi sosiologis dan
historis Indonesia, maka tidak bisa dinegasikan peran dua kelompok: Nasionalis
Religiousyakni kelompok nasionalis yang berbasiskan agama. Dan Nasionalis-Sekuler yakni kelompok
nasionalis yang basisnya bukan dari nilai-nilai agama. Kedua kelompok ini punya
peran masing-masing dalam memperjuangkan Indonesia. Keduanya merupakan bagian
entitas bangsa yang tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa
ini.
Karena itu, ketika ada salah satu pihak dari kedua kelompok
tersebut melakukan klaim-klaim kebenaran menurut versinya dan menihilkan peran
kelompok yang lain, maka akan lahir konflik dan ketegangan di tengah-tengah
kita semua. Karena itu pertemuan semacam Ngaji Budaya ini merupakan salah satu
ikhtiar kita untuk mencari formulasi dalam menjaga Keindonesiaan kita agar
tetap utuh dan bisa membawa Indonesia agar bisa berperan lebih di forum-forum
internasional.
Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik yang ternama dalam
bukunya yang berjudul TRUST: The Social Virtues and The Creation of
Prosperity mengatakan bahwa teori-teori ekonomi neoklasikal dan pembangunan
itu hanya bisa menjelaskan 70 persen dari kemajuan dan kemunduran
bangsa-bangsa. Tapi 30 persen sisanya tidak bisa dijelaskan dengan teori-teori
tersebut. Karena itu merupakan gejala sosial kemasyarakatan yang terjadi di
masing-masing negara.
Fukuyama mengatakan bahwa negara yang memiliki tingkat rasa
saling percaya yang tinggi atau high trust societymemiliki modal sosial
yang tinggi sehingga mampu menjadi bangsa yang maju. Dan sebaliknya, jika
masyarakatnya memiliki rasa saling percaya yang rendah atau low trust
society atau bahkan distrust society, maka potensi negara-negara
tersebut untuk maju akan sulit berkembang.
Artinya, maju mundurnya sebuah negara-bangsa bukan
hanya dilihat dari sisi ekonomi, tapi juga ditentukan oleh konstruksi sosial
masyarakat. Dari sinilah pentingnya membangun modal sosial atau social
capitalyang baik. Setelah saya mempelajari beberapa literatur tentang apa yang
menjadikan bangsa-bangsa bisa maju atau tidak. Maka saya sampai kepada suatu
kesimpulan bahwa kita tidak boleh hanya fokus membangun dimensi
fisik-ekonominya saja, tapi juga harus membangun dimensi sosialnya atau modal
sosial.
Ada tiga modal sosial yang menurut saya penting untuk terus
ditumbuhkan dan diperkokoh oleh kita semua sebagai sebuah keluarga besar bangsa
Indonesia.
Pertama, Rasa Saling Memiliki atau Sense of Belonging.
Setiap orang atau kelompok harus merasa memiliki Indonesia sebagai rumahnya.
Tidak boleh ada orang atau kelompok yang merasa bukan bagian dari bangsa ini
sehingga ia merasa tidak memiliki bangsa ini. Semua pihak harus merasa saling
memiliki bangsa ini tanpa terkecuali. Dan sebaliknya, jangan juga ada orang
atau kelompok yang merasa paling memiliki bangsa ini. Sehingga mereka mengklaim
paling berhak atas bangsa ini dan di saat yang sama menuding orang atau
kelompok lain tidak berhak atau bukan bagian dari bangsa ini.
Di keluarga saja, kalau antar saudara adik dan kakak jika
terjadi saling klaim atas rumah yang ditempatinya maka pasti akan terjadi
keributan dan konflik dalam keluarga tersebut. Jika sikap klaim paling memiliki
dan menegasikan hak-hak yang lain, maka yang terjadi keluarga itu tidak akan
utuh dan rumahnya menjadi tidak nyaman untuk ditempati bersama.
Begitu juga kita sebagai bangsa. Sikap mengklaim diri paling
Indonesia, paling Pancasila, Paling NKRI dan paling berhak atas bangsa ini
justru akan berujung pada krisis ketegangan dan konflik antar anak bangsa. Jika
sikap itu diteruskan akan memecah belah persatuan bangsa dan mengoyak-koyak
Keindonesiaan kita. Sehingga itu semua akan menyebabkan rumah Indonesia menjadi
tidak nyaman untuk kita tempati bersama-sama lagi.
Mungkin ada yang menyindir dengan mengatakan, “Malu aku jadi
orang Indonesia!” Mungkin itu salah satu bentuk ekspresi kekecewaan
terhadap realitas yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi,
jangan pernah kita mengatakan bahwa “Indonesia bukan lagi rumahku !”.
Jangan sampai berkata seperti itu. Kita harus tegaskan kembali bahwa
Indonesia adalah rumah kita semua. Kita harus saling merasa memiliki, sehingga
kita saling menjaga dan merawatnya bersama-sama.
Modal sosial yang kedua adalah Rasa Kebersamaan atau Sense
of Togetherness. Yakni persaan untuk ingin selalu membangun
kerjasama dengan berbagai elemen bangsa. Indonesia yang begitu luas dan besar
serta majemuk ini tidak bisa dikelola oleh satu pihak saja tanpa melibatkan
peran pihak-pihak lainnya. Tidak bisa hanya seorang Presiden PKS atau PKS saja
yang mampu menjaga dan membangun rumah Indonesia ini. Kita harus terbuka untuk
membangun titik temu sehingga ada hal-hal yang bisa dikerjasamakan.
PKS meyakini bahwa Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang
besar, maju, adil, bermatabat dan dihormati dunia jika ada kerjasama yang baik
antar semua elemen bangsa. Tidak boleh ada orang atau kelompok yang merasa
dirinya paling unggul dan tidak membutuhkan bantuan atau kerjasama orang atau
pihak lain.
Di PKS kita memiliki konsep “musyarakah” dan “isyrakiyyah”.
Ketika kita tidak jadi penguasa, PKS siap bekerjasama dengan penguasa dalam
membentuk kekuasaan bersama atau musyarakah. Tetapi PKS juga siap untuk tidak
dalam pemerintahan jika memang harus menjadi kekuatan penyeimbang penguasa. Dan
sebaliknya, ketika PKS di beri kesempatan untuk menjadi penguasa, maka PKS juga
siap melibatkan elemen dan kekuatan politik yang lain untuk masuk dalam
kekuasaan yang PKS bentuk atau isyrakiyah.
Modal sosial yang ketiga adalah Rasa Saling Percaya Trustworthiness.
Sebagai bangsa yang sangat beragam suku bangsanya, bahasanya, agamanya,
budayanya, adat istiadatnya, pilihan partai politiknya, maka kita harus
mengedepankan sikap saling percaya satu sama lain. Kita harus percaya
bahwa pada tingkat gagasan kita harus punya prinsip bahwa semua anak bangsa
memiliki niatan yang baik untuk kemajuan bangsa dan negaranya. Jangan sampai
karena beda partai politik kita memiliki pikiran bahwa partai lain tidak
mempunyai niat dan tujuan yang baik untuk bangsanya.
Hanya karena beda suku, beda bahasa, beda agama kita tidak
saling percaya satu sama lain. Pada tingkat gagasan kita harus percaya satu
sama lainnya. Namun demikian, nanti kita harus melihatnya pada sikap dan
perilakunya apakah apa yang dikatakan itu sesuai dengan realitas yang
dijalankan? Disitulah ajang pembuktiannya. Apakah benar mereka punya niat baik
atau sebaliknya justru mereka adalah pelopor dari tindakan yang menghancurkan
bangsa?
Kita harus bisa membedakan sikap pada tataran gagasan dan
tataran realitas. Jika pada tataran gagasan kita harus bersikap saling
percaya, namun pada tataran realitas, kita harus mengujinya apakah sesuai atau
tidak. Jika pada tataran realitas mereka menyimpang maka orang atau kelompok
ini harus ditindak secara tegas oleh hukum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga modal sosial tersebut di atas hanya akan bisa terjadi
jika ada seamless communicationatau komunikasi tanpa hambatan. Jika ada
hambatan komunikasi maka yang terjadi kesalahpahaman atau ketidaksaling
pengertian. Di keluarga juga sama. Jika antar anggota keluarga ada hambatan
komunikasi yang terjadi adalah saling curiga dan buruk sangka. Hal itulah yang
menjadi bibit lahirnya konflik dan perseteruan antar anggota keluarga. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara juga sama. Ketika komunikasi terhambat antar
anak bangsa maka sesama antar anak bangsa akan saling curiga dan buruk sangka.
Modal sosial pun akan sulit terbentuk di antara kita semua.
Di dunia politik sebenarnya komunikasi itu terjalin. Namun
demikian, komunikasi yang terjalin bersifatTRANSAKSIONAL. Sehingga hubungan
yang terbentuk seringkali hubungan untung rugi dan tidak ada hubungan saling
percaya.
Misalnya, ketika seseorang ingin maju sebagai kepala daerah.
Sang calon membangun komunikasi ke para konglomerat atau saudagar untuk mau
membiayai dirinya maju dalam kontestasi politik tapi dengan jaminan ketika
terpilih menjadi kepala daerah, maka sang kepala daerah yang terpilih berjanji
akan melindungi dan memajukan kepentingan sang konglomerat tersebut.
Komunikasi seperti itu transaksional bukan komunikasi
substantive yang berdasarkan nilai-nilai dan agenda perjuangan. Kita harus
ubah model komunikasi yang transaksional seperti ini dengan komunikasi yang
mengedapankan nilai-nilai dan agenda perjuangan untuk kemaslahatan masyarakat
yang lebih luas.
Dalam sebuah kesempatan seorang pimpinan WALUBI mendatangi
saya. Dia mengatakan pentingnya membangun komunikasi yang terbuka antar
kelompok beragama atau ekonomi atau politik. Dan saya pun menyetujuinya. PKS
pada prinsipnya siap membangun komunikasi yang terbuka tanpa hambatan dengan
pihak mana pun. Karena PKS yakin dengan begitu sikap saling percaya akan
terbangun. Kita tidak harus selalu setuju dan dalam pihak yang sama, tapi
paling tidak kita bisa memahami posisi dan sikap kita masing-masing.
Sebagai contoh, akhir-akhir ini sedang gencar dikampanyekan
tentang nilai-nilai Kebangsaan, Pancasila dan Kebhinekaan. Perlu dipahami
bersama bahwa PKS secara institusi telah dengan tegas menerima dan
memperjuangkan seluruh konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara.Bagi PKS,
seluruh konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara seperti Pancasila, UUD
1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika itu semua sudah selesai. Tinggal
bagaimana kita sebagai bangsa merealisasikan itu semua sebagaimana cita-cita
bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4.
Terkait kampanye Isu Kebhinekaan yang cukup masih
disampaikan. Perlu kita luruskan disini bahwa Kebhinekaan itu merupakan state
of being, yakni sebuah kondisi yang sudah jadi begitu kita lahi Itu fakta
yang sudah nyata ada. Karena itu merupakan fakta yang sudah nyata ada maka
Kebhinekaan bukan untuk kita perjuangkan. Justru yang perlu kita
perjuangkan adalah Persatuan dalam bingkai Kebhinekaan itu sendiri.
Mengapa persatuan yang perlu diperjuankan?Karena persatuan itu aprocess
of becoming, merupakan suatu ikhtiar yang harus terus menerus diperjuangkan.
Dengan begitu, kehidupan kita sebagai bangsa yang bhineka akan kuat dan kokoh.
Terakhir pesan saya untuk anak-anak muda. Ada dua hal yang
ingin saya titipkan. Pertama, percayalah dengan the power of small thing,
the power of small good deed.Percaya dengan kekuatan hal-hal yang kecil,
percaya dengan amal-amal kebaikan yang kecil. Dulu John Naisbit pernah
meramalkan tentang Global Paradox. Dia mengatakan bahwa meskipun dunia
semakin mengglobal atau terintegrasi justru semakin penting elemen-elemen
terkecilnya. Jadi ketika sekarang hidup di zaman globalisasi justru yang
semakin berperan penting adalah elemen-elemen terkecil dari globalisasi itu
sendiri. Karena itu kita harus percaya bahwa amal-amal kebaikan yang kecil itu
justru memiliki kekuatan dan dampak yang luar biasa.
Yang kedua saya berharap anak-anak muda atau setiap orang
yang berjiwa muda ini bisa menjadi pelopor-pelopor kebaikan di sektor mana pun
anda semua bekerja.Tumbuhkanlah dalam diri anda selalu menjadi pelopor berbuat
baik meskipun anda sendiri melakukannya.
Saya pernah diberi nasehat oleh guru ngaji saya, ”Kalau
ada 1000 orang berbuat baik, maka aku ada di dalamnya. Kalau ada 100 orang
berbuat baik, maka aku berada paling depan. Kalau ada 10 orang berbuat baik,
akulah pemimpinnya. Dan jika hanya ada satu saja orang berbuat baik, maka
itulah aku.” Mudah-mudahan jiwa-jiwa kepeloporan tertanam dalam diri kita.
Indonesia tidak lagi membutuhkan orator-orator ulung, yang dibutuhkan sekarang
adalah para pelopor kebaikan di setiap sektor kehidupan yang istiqomah dan
tulus berjuang.
Wassalamualaikum Wr Wb
pks.id
0 komentar:
Posting Komentar