Alt/Text Gambar

15 Agustus 2017

15 Agustus 2017

Tausiah Kebangsaan Presiden PKS: Rumah Indonesia, Siapa yang Menjaga?


Oleh:  Mohamad Sohibul Iman, Ph.D
Presiden Partai Keadilan Sejahtera 


(Disampaikan pada acara Ngaji Budaya yang diselenggarakan oleh Bidang Seni-Budaya DPP PKS, 11 Agustus 2017 bertempat di Kantor Pusat DPP PKS)

Assalamualaikum Wr Wb,
Ngaji budaya kali ini mengambil tema, Rumah Indonesia, Siapa yang Menjaga?Saya kira ini pertanyaan retoris saja.  Karena kita semua sudah pasti tahu jawabannya. Yang menjaga rumah Indonesia ya kita semua. Karena kita orang Indonesia yang kitalah yang menjaga rumah kita. 

Namun demikian, menjaga rumah Indonesia tidak semudah kita mengucapkannya. Akhir-akhir ini kita merasakan bahwa nilai-nilai Keindonesiaan kita telah terkoyak oleh sebuah situasi dengan adanya tarikan-tarikan dimana ada sekelompok orang yang menginginkan situasi zero sum game. Dimana ketika seseorang dalam kondisi menang inginnya menihilkan yang lain. Dari kedua belah pihak sama-sama ingin menjatuhkan. 

Padahal kalau kita lihat kembali dari sisi sosiologis dan historis Indonesia, maka tidak bisa dinegasikan peran dua kelompok: Nasionalis Religiousyakni kelompok nasionalis yang berbasiskan agama. Dan Nasionalis-Sekuler yakni kelompok nasionalis yang basisnya bukan dari nilai-nilai agama. Kedua kelompok ini punya peran masing-masing dalam memperjuangkan Indonesia. Keduanya merupakan bagian entitas bangsa yang tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa ini. 

Karena itu, ketika ada salah satu pihak dari kedua kelompok tersebut melakukan klaim-klaim kebenaran menurut versinya dan menihilkan peran kelompok yang lain, maka akan lahir konflik dan ketegangan di tengah-tengah kita semua. Karena itu pertemuan semacam Ngaji Budaya ini merupakan salah satu ikhtiar kita untuk mencari formulasi dalam menjaga Keindonesiaan kita agar tetap utuh dan bisa membawa Indonesia agar bisa berperan lebih di forum-forum internasional. 

Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik yang ternama dalam bukunya yang berjudul TRUST: The Social Virtues and The Creation of Prosperity mengatakan bahwa teori-teori ekonomi neoklasikal dan pembangunan itu hanya bisa menjelaskan 70 persen dari kemajuan dan kemunduran bangsa-bangsa. Tapi 30 persen sisanya tidak bisa dijelaskan dengan teori-teori tersebut. Karena itu merupakan gejala sosial kemasyarakatan yang terjadi di masing-masing negara.    

Fukuyama mengatakan bahwa negara yang memiliki tingkat rasa saling percaya yang tinggi atau high trust societymemiliki modal sosial yang tinggi sehingga mampu menjadi bangsa yang maju. Dan sebaliknya, jika masyarakatnya memiliki rasa saling percaya yang rendah atau low trust society atau bahkan distrust society, maka potensi negara-negara tersebut untuk maju akan sulit berkembang. 

Artinya, maju mundurnya sebuah negara-bangsa bukan hanya dilihat dari sisi ekonomi, tapi juga ditentukan oleh konstruksi sosial masyarakat. Dari sinilah pentingnya membangun modal sosial atau social capitalyang baik. Setelah saya mempelajari beberapa literatur tentang apa yang menjadikan bangsa-bangsa bisa maju atau tidak. Maka saya sampai kepada suatu kesimpulan bahwa kita tidak boleh hanya fokus membangun dimensi fisik-ekonominya saja, tapi juga harus membangun dimensi sosialnya atau modal sosial.

Ada tiga modal sosial yang menurut saya penting untuk terus ditumbuhkan dan diperkokoh oleh kita semua sebagai sebuah keluarga besar bangsa Indonesia. 

Pertama, Rasa Saling Memiliki atau Sense of Belonging. Setiap orang atau kelompok harus merasa memiliki Indonesia sebagai rumahnya. Tidak boleh ada orang atau kelompok yang merasa bukan bagian dari bangsa ini sehingga ia merasa tidak memiliki bangsa ini. Semua pihak harus merasa saling memiliki bangsa ini tanpa terkecuali. Dan sebaliknya, jangan juga ada orang atau kelompok yang merasa paling memiliki bangsa ini. Sehingga mereka mengklaim paling berhak atas bangsa ini dan di saat yang sama menuding orang atau kelompok lain tidak berhak atau bukan bagian dari bangsa ini. 

Di keluarga saja, kalau antar saudara adik dan kakak jika terjadi saling klaim atas rumah yang ditempatinya maka pasti akan terjadi keributan dan konflik dalam keluarga tersebut. Jika sikap klaim paling memiliki dan menegasikan hak-hak yang lain, maka yang terjadi keluarga itu tidak akan utuh dan rumahnya menjadi tidak nyaman untuk ditempati bersama.

Begitu juga kita sebagai bangsa. Sikap mengklaim diri paling Indonesia, paling Pancasila, Paling NKRI dan paling berhak atas bangsa ini justru akan berujung pada krisis ketegangan dan konflik antar anak bangsa. Jika sikap itu diteruskan akan memecah belah persatuan bangsa dan mengoyak-koyak Keindonesiaan kita. Sehingga itu semua akan menyebabkan rumah Indonesia menjadi tidak nyaman untuk kita tempati bersama-sama lagi. 

Mungkin ada yang menyindir dengan mengatakan, “Malu aku jadi orang Indonesia!”  Mungkin itu salah satu bentuk ekspresi kekecewaan terhadap realitas yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi, jangan pernah kita mengatakan bahwa “Indonesia bukan lagi rumahku !”. Jangan sampai  berkata seperti itu. Kita harus tegaskan kembali bahwa Indonesia adalah rumah kita semua. Kita harus saling merasa memiliki, sehingga kita saling menjaga dan merawatnya bersama-sama. 

Modal sosial yang kedua adalah Rasa Kebersamaan atau Sense of Togetherness.  Yakni persaan untuk ingin selalu membangun kerjasama dengan berbagai elemen bangsa. Indonesia yang begitu luas dan besar serta majemuk ini tidak bisa dikelola oleh satu pihak saja tanpa melibatkan peran pihak-pihak lainnya. Tidak bisa hanya seorang Presiden PKS atau PKS saja yang mampu menjaga dan membangun rumah Indonesia ini. Kita harus terbuka untuk membangun titik temu sehingga ada hal-hal yang bisa dikerjasamakan. 

PKS meyakini bahwa Indonesia hanya bisa menjadi bangsa yang besar, maju, adil, bermatabat dan dihormati dunia jika ada kerjasama yang baik antar semua elemen bangsa. Tidak boleh ada orang atau kelompok yang merasa dirinya paling unggul dan tidak membutuhkan bantuan atau kerjasama orang atau pihak lain. 

Di PKS kita memiliki konsep “musyarakah” dan “isyrakiyyah”. Ketika kita tidak jadi penguasa, PKS siap bekerjasama dengan penguasa dalam membentuk kekuasaan bersama atau musyarakah. Tetapi PKS juga siap untuk tidak dalam pemerintahan jika memang harus menjadi kekuatan penyeimbang penguasa. Dan sebaliknya, ketika PKS di beri kesempatan untuk menjadi penguasa, maka PKS juga siap melibatkan elemen dan kekuatan politik yang lain untuk masuk dalam kekuasaan yang PKS bentuk atau isyrakiyah. 

Modal sosial yang ketiga adalah Rasa Saling Percaya Trustworthiness. Sebagai bangsa yang sangat beragam suku bangsanya, bahasanya, agamanya, budayanya, adat istiadatnya, pilihan partai politiknya, maka kita harus mengedepankan sikap saling percaya satu sama lain. Kita harus percaya bahwa pada tingkat gagasan kita harus punya prinsip bahwa semua anak bangsa memiliki niatan yang baik untuk kemajuan bangsa dan negaranya. Jangan sampai karena beda partai politik kita memiliki pikiran bahwa partai lain tidak mempunyai niat dan tujuan yang baik untuk bangsanya. 

Hanya karena beda suku, beda bahasa, beda agama kita tidak saling percaya satu sama lain. Pada tingkat gagasan kita harus percaya satu sama lainnya. Namun demikian, nanti kita harus melihatnya pada sikap dan perilakunya apakah apa yang dikatakan itu sesuai dengan realitas yang dijalankan? Disitulah ajang pembuktiannya. Apakah benar mereka punya niat baik atau sebaliknya justru mereka adalah pelopor dari tindakan yang menghancurkan bangsa?   

Kita harus bisa membedakan sikap pada tataran gagasan dan tataran realitas. Jika pada tataran gagasan kita harus bersikap saling percaya, namun pada tataran realitas, kita harus mengujinya apakah sesuai atau tidak. Jika pada tataran realitas mereka menyimpang maka orang atau kelompok ini harus ditindak secara tegas oleh hukum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. 

Ketiga modal sosial tersebut di atas hanya akan bisa terjadi jika ada seamless communicationatau komunikasi tanpa hambatan. Jika ada hambatan komunikasi maka yang terjadi kesalahpahaman atau ketidaksaling pengertian. Di keluarga juga sama. Jika antar anggota keluarga ada hambatan komunikasi yang terjadi adalah saling curiga dan buruk sangka. Hal itulah yang menjadi bibit lahirnya konflik dan perseteruan antar anggota keluarga. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga sama. Ketika komunikasi terhambat antar anak bangsa maka sesama antar anak bangsa akan saling curiga dan buruk sangka. Modal sosial pun akan sulit terbentuk di antara kita semua. 

Di dunia politik sebenarnya komunikasi itu terjalin. Namun demikian, komunikasi yang terjalin bersifatTRANSAKSIONAL. Sehingga hubungan yang terbentuk seringkali hubungan untung rugi dan tidak ada hubungan saling percaya.

Misalnya, ketika seseorang ingin maju sebagai kepala daerah. Sang calon membangun komunikasi ke para konglomerat atau saudagar untuk mau membiayai dirinya maju dalam kontestasi politik tapi dengan jaminan ketika terpilih menjadi kepala daerah, maka sang kepala daerah yang terpilih berjanji akan melindungi dan memajukan kepentingan sang konglomerat tersebut. 

Komunikasi seperti itu transaksional bukan komunikasi substantive yang berdasarkan nilai-nilai dan agenda perjuangan. Kita harus ubah model komunikasi yang transaksional seperti ini dengan komunikasi yang mengedapankan nilai-nilai dan agenda perjuangan untuk kemaslahatan masyarakat yang lebih luas. 

Dalam sebuah kesempatan seorang pimpinan WALUBI mendatangi saya. Dia mengatakan pentingnya membangun komunikasi yang terbuka antar kelompok beragama atau ekonomi atau politik. Dan saya pun menyetujuinya. PKS pada prinsipnya siap membangun komunikasi yang terbuka tanpa hambatan dengan pihak mana pun. Karena PKS yakin dengan begitu sikap saling percaya akan terbangun. Kita tidak harus selalu setuju dan dalam pihak yang sama, tapi paling tidak kita bisa memahami posisi dan sikap kita masing-masing. 

Sebagai contoh, akhir-akhir ini sedang gencar dikampanyekan tentang nilai-nilai Kebangsaan, Pancasila dan Kebhinekaan. Perlu dipahami  bersama bahwa PKS secara institusi telah dengan tegas menerima dan memperjuangkan seluruh konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara.Bagi PKS, seluruh konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika itu semua sudah selesai. Tinggal bagaimana kita sebagai bangsa merealisasikan itu semua sebagaimana cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4. 

Terkait kampanye Isu Kebhinekaan yang cukup masih disampaikan. Perlu kita luruskan disini bahwa Kebhinekaan itu merupakan state of being, yakni sebuah kondisi yang sudah jadi begitu kita lahi Itu fakta yang sudah nyata ada. Karena itu merupakan fakta yang sudah nyata ada maka Kebhinekaan bukan untuk kita perjuangkan. Justru yang perlu kita perjuangkan adalah Persatuan dalam bingkai Kebhinekaan itu sendiri.  Mengapa persatuan yang perlu diperjuankan?Karena persatuan itu aprocess of becoming, merupakan suatu ikhtiar yang harus terus menerus diperjuangkan. Dengan begitu, kehidupan kita sebagai bangsa yang bhineka akan kuat dan kokoh.

Terakhir pesan saya untuk anak-anak muda. Ada dua hal yang ingin saya titipkan. Pertama, percayalah dengan the power of small thing, the power of small good deed.Percaya dengan kekuatan hal-hal yang kecil, percaya dengan amal-amal kebaikan yang kecil. Dulu John Naisbit pernah meramalkan tentang Global Paradox. Dia mengatakan bahwa meskipun dunia semakin mengglobal atau terintegrasi justru semakin penting elemen-elemen terkecilnya. Jadi ketika sekarang hidup di zaman globalisasi justru yang semakin berperan penting adalah elemen-elemen terkecil dari globalisasi itu sendiri. Karena itu kita harus percaya bahwa amal-amal kebaikan yang kecil itu justru memiliki kekuatan dan dampak yang luar biasa.

Yang kedua saya berharap anak-anak muda atau setiap orang yang berjiwa muda ini bisa menjadi pelopor-pelopor kebaikan di sektor mana pun anda semua bekerja.Tumbuhkanlah dalam diri anda selalu menjadi pelopor berbuat baik meskipun anda sendiri melakukannya. 

Saya pernah diberi nasehat oleh guru ngaji saya, ”Kalau ada 1000 orang berbuat baik, maka aku ada di dalamnya. Kalau ada 100 orang berbuat baik, maka aku berada paling depan. Kalau ada 10 orang berbuat baik, akulah pemimpinnya. Dan jika hanya ada satu saja orang berbuat baik, maka itulah aku.” Mudah-mudahan jiwa-jiwa kepeloporan tertanam dalam diri kita. Indonesia tidak lagi membutuhkan orator-orator ulung, yang dibutuhkan sekarang adalah para pelopor kebaikan di setiap sektor kehidupan yang istiqomah dan tulus berjuang.

Wassalamualaikum Wr Wb
pks.id

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates | ReDesign by PKS Kab.Semarang