Alt/Text Gambar

24 Januari 2015

24 Januari 2015

Memaknai Waktu

Waktu terus berputar. Hari dan tahun terus berganti. Ia penanda angka usia yang bertambah. Angka usia bertambah pada hakikatnya jatah hidup manusia di dunia berkurang. Itu berarti, manusia semakin dekat dengan pintu kematian. Dan semua manusia pasti melewati pintu takdir itu. Allah SWT berfirman “Setiap diri yang bernyawa pasti akan mengalami kematian” (QS. Ali Imran [3]:185).
Saat ini kita berada di hari dan tahun kesekiannya dalam kehidupan. Tentu banyak hal yang telah kita lewati diantara ruang dan waktu yang silih berganti. Ada harapan yang menjadi kenyataan. Namun tak sedikit pula kenyataan tak sesuai harapan. Begitulah realita kehidupan mengajarkan.
Hijrah
Sebab itu, setiap hari bahkan tahun yang berganti adalah momentum yang mengajarkan kita, pertama, betapa pentingnya perubahan. Ketika Rasulullah SAW menjelaskan hakikat hijrah, yakni meninggalkan kemaksiatan untuk menuju ketaatan kepada Allah SWT -HR. Bukhari dari Abdullah ibn Amr r.a., intinya adalah perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Ini memerlukan kesungguhan dan pengorbanan.
Maka sangat brilian Ali ibn Abi Thalib r.a. mencetuskan dan tepat sikap Umar ibn Khattab r.a. menetapkan, perhitungan kalender Islam diambil dari tonggak sejarah hijrahnya Nabi SAW dan kaum Muslimin dari kota Mekkah ke Madinah. Karena ini mengajarkan kepada umat Islam saat ini pentingnya usaha, kesungguhan, dan pengorbanan dalam kehidupan.
Kalender Islam tidak ditetapkan dari sejarah kelahiran Rasulullah, kemenangan fathul makkah, atau berdasarkan nama. Sebab Islam mengajarkan kemuliaan manusia tidak diukur dari garis keturunan. Euforia kemenangan masa lalu bisa membunuh masa depan. Lalu menyebut kalender Islam dengan nama seseorang khawatir mengandung unsur kultus dan pemujaan.
Peristiwa hijrah sebagai dasar penetapan perhitungan tahun Islam mengajarkan pentingnya pengorbanan untuk konsisten dalam keyakinan (aqidah). Karena kemuliaan seseorang bukan diukur dari harta yang melimpah, pangkat dan kedudukan, atau garis keturunan, melainkan dari ketakwaaan (QS. al-Hujurat [49]:13). Kaum Muhajirin rela meninggalkan simbol dunia itu di kota Mekkah untuk hijrah ke kota Madinah demi Islam dan keselamatan akidah.
Semangat hijrah itulah yang harus ditransformasi dalam kehidupan saat ini. Kejayaan dan kemuliaan umat Islam hanya dapat diraih dengan hidup secara Islami, berdasarkan al Qur’an dan Sunnah. Ketika Rasulullah SAW mengingatkan sumber kehinaan umat Islam adalah penyakit wahn, yaitu cinta dunia (hubbud dunyaa) dan takut mati (wakaraa hiyatul maut), dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa: Allah ta’ala tidak akan mencabut kehinaan itu di tubuh kaum Muslimin sampai mereka kembali kepada agama mereka.
Suatu saat Umar ibn Khattab r.a. meneteskan air mata melihat kamar atau tempat tidur rasulullah SAW yang dinilainya tak layak bagi seorang pemimpin umat. Umar r.a. berkata: “Aku melihat raja Romawi dan Persia tidur di atas kasur yang empuk, sedangkan engkau wahai Rasulullah seorang pemimpin umat hanya beralaskan pelepah kurma?” Rasulullah mejawab: “Wahai Umar jangan engkau ragu, (cukup Islam sebagai sumber kemuliaan kita). Bukankah engkau suka mereka mendapatkan dunia, sedangkan bagian kita (kebahagiaan) di akhirat?” (HR. Ahmad dari Anas ibn Malik r.a.).
Muhasabah
Kedua, pentingnya bermuhasabah diri. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. al-Hasyr [59]:18). Siapapun tidak ingin tertipu dengan dunia dan waktu. Oleh sebab itu manusia harus mengevaluasi dan introspeksi diri (muhasabah).
Ada tiga kunci keberuntungan hidup manusia. Rugi di dunia dan akhirat manusia yang melalaikannya. Ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam satu surat yakni surat al ‘Asr [103]. Inilah yang seharusnya menjadi fokus muhasabah untuk mencapai kualitas hidup yang lebih bermakna.
Pertama, iman (akidah). Mengapa penting diperhatikan? Karena rusaknya sendi kehidupan berupa defisitnya moralitas, terjadinya kemaksiatan, dan hilangnya rasa malu disebabkan rusaknya akidah. Sebab itu konsep akidah yang benar hanyalah tauhid. Penyelewengannya syirik. Dan akidah itu harus dibangun di atas ilmu. Allah ta’ala berfirman: “Maka berilmulah (tentang tauhid) bahwasanya tidak ada tuhan yang pantas diibadahi kecuali Allah” (QS. Muhammad [47]:19).
Kedua, amal. Sudahkah amal kita amal shalih yang berdasarkan dalil yang shahih? Karena banyak orang beramal tanpa didasari ilmu dan menyangka telah berbuat baik, serta berkhayal dengan balasan pahala. Allah ta’ala mengingatkan: “Orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi [18]:104); “Pahala dari Allah bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong” (QS. an-Nisa’ [4]:123).
Ketiga, saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran. Karena keimanan dan keshalihan personal tidak sempurna di sisi Allah SWT, sampai adanya upaya transformasi untuk mewujudkan keshalihan sosial. Disinilah pentingnya nilai dakwah atau saling menasehati antar-sesama serta bersabar menjalani itu semua. Allah ta’ala berfirman: “Sebab itu berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat” (QS. al-A’la [87]:9).
Inilah tiga fokus muhasabah agar tidak dikatakan sebagai innal insaana lafii khusrin (QS. al-’Asr [103]:2). Umar ibn Khattab r.a. pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan bersiap-siaplah untuk sebuah pertemuan yang agung”. Hijrah kepada kualitas hidup yang lebih baik dengan muhasabah diri, inilah upaya memaknai hari dan tahun yang selalu berganti. Wallahu a’lam. [islamaktual/tabligh/lidusyardi]

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates | ReDesign by PKS Kab.Semarang