Oleh : Roky Septiari
Wakil Ketua LAM&PK FH UA
Padang Ekspres
Kondisi nyata, rumah ilmu kita (baca: universitas negeri) dikeluhkan karena tertatih untuk unjuk gigi dalam publikasi keilmuan. Anggaran dana sebagai “bahan bakar” yang minim dari si pengelola (pemerintah) dan kurungan birokrasi dianggap sebagai problem inti mandeknya pencerdasan dan kemajuan bangsa lewat pendidikan tinggi. Namun, tidaklah dua faktor tadi yang harus lekas ditanggapi dengan formula baru, ketika pendidikan akan tetap dijadikan jalan “mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas”. Bahkan jika telisik lagi, dua faktor tersebut bermasalah di tataran implementasi dan penyelenggara, bukan dalam konsep atau formulanya.
Formulasi yang Dilencengkan
Konstitusi mengharuskan “sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan” pada Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dapat dipahami bahwa pendidikan adalah bagian intim negara Indonesia yang tak boleh dikuasai “tangan-tangan asing”. Kemudian, UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa dana minimal itu tak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Namun, dalam penerapan tahun 2009 setelah UU APBN 2005-2008 berturut-turut digugat dan dinyatakan inkonstitusional serta sesudah frasa “selain gaji pendidik” dibatalkan oleh MK. Contoh, R 331,8 triliun (20,01 persen) termasuk pendidikan kementrian Agama dan 18 Kementrian lain, jika dikeluarkan bersama gaji guru tinggal lagi 9,8 persen dari APBN. Jadi, kata “memprioritaskan” minimal 20 persen menjadi kurang bermakna, apalagi sering kurang tepat pemanfaatan dan tak jelas pertanggungjawabannya (M. Abduhzen : kompas 6/03/2013).
Kini, jalan bagi kurangnya anggaran pendidikan malah disiasati dengan mengubah “kelamin” perguruan tinggi menjadi privat (baca: badan hukum pendidikan). Melalui UU Pendidikan tinggi sebagai regulasi kebijakan yang diformulakan seakan lari dari kenyataan dengan masalah baru.
Otonomi yang Mana?
Istilah otonomi memang tak asing lagi ditelinga publik. Otonomi dapat dimaknai sebagai sebuah konsep kewenangan penuh untuk mengurusi urusan diri. Langkah mengotonomikan berarti melepaskan kekuasaan ke tangan lain. Memang benar, otonomi masih bisa dikonsep dengan tetap mempertahankan campur tangan pemberi kekuasaan. Tentu campur tangan pemerintah nantinya hanya sekadar “saran”. Serta membuat “ambigu”-nya otoritas tertinggi pengelolaan pendidikan berbentuk badan hukum. Aneh, ketika pemerintah (eksekutif) sebagai pemegang otoritas mengelola negara tak mampu dan dialihkan kepada tanggung jawab privat dari perguruan tinggi sebagai badan hukum. Bukankah negara ini didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?.
Dari 2009 hingga sekarang, formula perguruan tinggi yang diusung menimbulkan gejolak baru. Kita dapat melihat bagaimana UU Badan Hukum Pendidikan (UU No.9/2009) dinyatakan tak berkekuatan hukum oleh MK serta UU Sisdiknas yang melegitimasi keberadan RSBI bagi sekolah menengah kebawah pun ikut diruntuhkan karena bersebrangan dengan cita konstitusi. Tak berhenti disana, pada tahun 2012 lahir regulasi senada bernama UU Pendidikan Tinggi (UU No.12/2012) yang tengah diproses uji materil di MK. Pasal 65 UU tersebut masih membawa nafas yang sama, yakni badan hukum pendidikan. Bahkan konsep dosen kontrak serta legitimasi bagi PTN asing bercokol di Indonesia di usung sebagai wujud mencapai kemajuan pendidikan, katanya.
Format pendidikan tinggi diusung guna mencari jalan keluar dari keterbatasan pembiayaan. Sehingga, otonomi yang diusung seakan hanya kedok dari keinginan mengkorporatisasi pendidikan tinggi. Bagaimana bisa, kebebasan perguruan tinggi dibenturkan dengan persoalan pembiayaan yang harusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Pemerintah yang harus mengakali pembiayaan pendidikan. Bahkan, jika perlu diadakan tindakan meminta industri mengeluarkan pajak untuk pendidikan atau CSR (corporate social responsibility) bagi pendidikan. Beda soal, ketika otonomi akademik yang dipersoalkan kerena itulah otonomi sesungguhnya untuk perguruan tinggi. Mewujudkan Tridharma pendidikan dengan kebebasan “berekspresi” dalam lingkup akademik, bukan malah direpotkan mengurusi pembiayaan bahkan, menjadikannya badan hukum yang berjuang demi “modal operasi” pendidikan. Jika itu dilakukan, maka negara ini tidak pantas lagi berpaham Walfare State(negara kesejahteraan), tetapi negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Hal ini merujuk pada tugas penjaga malam yang menjamin ketertiban dan keamanan warga dalam suatu wilayah. Emanuel Kant (1724 -1804) juga membatasi negara hanya sebatas penegak aturan hukum, dan tidak sama sekali berbicara mengenai kesejahteraan rakyat. Liberalisasi menjadi corak di setiap lini bahkan organ “intim” republik.
Konsep Pendidikan tak Ber-Nalar
Perkembangan pendidikan kini menjadi krusial, lantaran konsep yang diusung seakan-akan menjadikan pendidikan sebagai “barang dagangan” untuk dibungkus “cantik”. Mulai dari kurikulum 2013 yang mengusung sifat integratif sehingga pengetahuan alam diintegrasikan ke dalam bidang studi non eksakta (Bahasa Indonesia). Kritik tajam berdatangan, mulai dari guru-guru hingga pakar pendidikan kita. Kurikulum yang terkesan mengada-ada tersebut dicaci sebagai produk “instan” tak bernalar. Regulasi instan yang mencakup sekolah dasar hingga menengah, sampai kepada pengelolaan perguruan tinggi menuju titik temu penggerusan budaya lokal. Pendidikan tak lagi menjadi proses pewarisan budaya kepada generasi berikutnya. Mengejar standar yang dipakai oleh pendidikan luar, seperti penggunaan bahasa asing di setiap mata ajar dan skill penguasaan teknologi informasi menjadi tolak ukur utama kemajuan pendidikan yang diusung. Wajar memang, ketika teknologi pesat berkembang, pendidikan harus disingkronkan untuk melek. Namun, jangan sampai konsep pendidikan yang dikembangkan terus-menerus melihat ke “luar” tanpa melihat ke “dalam”. Perlu kiranya menilisik aspek budaya yang digandengkan dalam satu pengelolaan (kemendikbud).
Keberhasilan sebuah perguruan tinggi tentu dilihat dari input, proses dan output. Alumni yang mapan, penelitian yang berhasil, dan masyarakat sekitar yang merasakan keberadaan kampus menjadi patokan pembenarnya. Pengembangan aspek kognitif selalu dijadikan prioritas perguruan tinggi. World Class University, World Class Curriculum, dan sejenisnya yang membawa pendidikan nasional entah ke mana. Seoalah kuno ketika yang ditonjolkan adalah pengembangan aspek budya lokal maupun nasional. Sibuk mengumbar label, hingga hilanglah substansi. Kebudayaan seakan-akan hanya ditafsirkan “jualan wisata”. Sungguh, rupa pendidikan kita tak tentu dan terombang ambing oleh arus globalisasi.
Implikasi Badan Hukum Pendidikan
Badan hukum adalah subjek hukum disamping orang perorangan, dapat melakukan perbuatan hukum serta memiliki kekayaan sendiri. Badan hukum tak layak diformulakan pada pendidikan, sebagai tanggung jawab murni kekuasaan eksekutif dan legislatif negara. Apalagi negara kesejahteraan yang haruslah menguasai penuh aspek-aspek dasar bernegara. Pembukaan UUD 1945 telah menegaskan bahwa pendidikan adalah aspek penting dari tugas bernegara itu. Jika badan hukum pendidikan tetap hadir dalam kehidupan bernegara, maka jangan lagi sebut negara ini negara kesejahteraan dan hapuskan cita pendidikan dalam konstitusi. Miris, ketika pemahaman bernegara tak lagi dipahami oleh elit berkuasa. Perguruan tinggi dapat pailit, serta tindak pidana korupsi tak lagi hadir ketika status badan hukum diperuntukan bagi perguruan tinggi negeri. Tak ada unsur “kekayaan negara”. Implikasi tersebut harus dilihat sebagai patokan bahwa badan hukum bukanlah jalan memajukan pencerdasan bangsa malah menjual “negara”. Pemerintah menutup mata atas kemiskinan yang masih memilukan. Formula badan hukum akan jelas menciptakan “yang miskin dilarang kuliah”.
Pandangan di atas tak akan dapat dirasa oleh elit yang hanya “berpikir dan bertindak” di ruangan ber-Ac dan nyaman semata. Seakan membenarkan kondisi masyarakat dengan melabel “pemalas” bagi yang miskin bahkan menutup hak pendidikan bagi mereka. Kemiskinan struktural terkonsep sudah. Sektor publik seperti pendidikan malah dipagar dengan tulisan “yang masuk harus bayar”. Inilah realitas tak tertampikkan di bangsa kita. Jangan biarkan, kebijakan yang diusung malah menggerus cita negara. Lalainya pemerintah dalam memberikan modal pendidikan sesuai konstitusi jangan disiasati dengan “melempar” barang publik menjadi barang privat. Pendidikan adalah organ paling intim sebuah negara. Cukuplah formulasi hoak (menipu) yang sudah tak bekekuatan hukum oleh palu MK menjadi pembelajaran. Ngototnya pemerintah untuk tetap mengusung pelepasan pendidikan menjadi mandiri dan bekerjasama dengan korporasi pemodal hanya akan menciptakan konsep untung-rugi. Pendidikan bukan korporasi yang mencari untung. Itulah suara dari bawah yang perlu ditanggapi serius. Bahkan, MK harus jadi tempat mengadu ketika regulasi (UU) menggerus hak. Semoga, pendidikan akan tetap jadi tumpuan anak bangsa meraih masa depan, mengubah nasib dan penguatan nilai-nilai budaya asli Indonesia.
[ Red/Administrator ]
padangexpres.co.id
0 komentar:
Posting Komentar